Dua Keluarga Besar Codec – Lossy vs. Lossless
Menghadapi masalah ukuran file yang masif, para insinyur audio mengembangkan dua pendekatan utama untuk kompresi, yang melahirkan dua keluarga besar codec.
2.1 Kompresi Lossy: Seni “Membuang” yang Cerdas
Keluarga codec lossy (yang berarti “dengan kehilangan”) bekerja berdasarkan prinsip yang jenius: telinga manusia tidak sempurna. Ada batasan pada apa yang bisa kita dengar. Dengan memanfaatkan ilmu psikoakustik—studi tentang persepsi suara—codec ini secara cerdas membuang data audio yang dianggap tidak akan terdengar oleh sebagian besar orang. Ini bukan penghapusan acak; ini adalah pembedahan presisi.
Dua prinsip psikoakustik utama yang digunakan adalah:
- Auditory Masking (Penopengan Auditori): Fenomena ini terjadi ketika suara yang keras membuat suara yang lebih pelan pada frekuensi yang berdekatan menjadi tidak terdengar. Bayangkan Anda sedang mendengarkan konser rock; dentuman drum bass yang keras akan “menutupi” atau “menopeng” suara petikan gitar akustik yang lembut yang dimainkan pada saat yang bersamaan. Codec lossy akan menganalisis data ini dan memutuskan untuk membuang informasi tentang petikan gitar yang lembut tersebut, karena toh telinga Anda tidak akan mendengarnya.
- Temporal Masking (Penopengan Temporal): Suara yang sangat keras juga dapat menutupi suara yang lebih pelan yang muncul sesaat sebelum atau sesudah suara keras tersebut. Codec lossy juga memanfaatkan ini untuk memangkas lebih banyak data.
Kualitas dari kompresi lossy diukur dalam bitrate (laju bit), biasanya dalam kilobit per detik (kbps). Bitrate adalah jumlah data yang dialokasikan untuk merepresentasikan satu detik audio. Semakin tinggi bitrate, semakin sedikit data yang dibuang, dan semakin tinggi kualitas suaranya.
MP3 (MPEG-1 Audio Layer III): Inilah sang pelopor, codec yang merevolusi industri musik dan melahirkan era berbagi file. Dikembangkan pada akhir 80-an dan awal 90-an, MP3 menjadi standar de facto untuk audio portabel. MP3 128 kbps menawarkan ukuran file yang sangat kecil, tetapi seringkali menghasilkan artefak suara yang terdengar (seperti suara “swishy” pada simbal). Standar emas untuk MP3 adalah 320 kbps, yang bagi banyak orang sulit dibedakan dari kualitas CD dalam pendengaran kasual.
AAC (Advanced Audio Coding): Dianggap sebagai penerus MP3, AAC dirancang untuk menjadi lebih efisien. Pada bitrate yang sama, AAC umumnya memberikan kualitas suara yang lebih baik daripada MP3. Inilah sebabnya mengapa AAC diadopsi oleh Apple untuk iTunes dan Apple Music, oleh YouTube, dan banyak standar penyiaran digital lainnya. AAC 256 kbps sering dianggap sebanding atau bahkan lebih baik dari MP3 320 kbps.
Ogg Vorbis: Ini adalah jagoan dari dunia open-source. Vorbis adalah codec gratis dan tidak terbebani paten, menjadikannya pilihan populer bagi pengembang yang tidak ingin membayar biaya lisensi. Secara teknis, Vorbis sangat kompetitif dengan AAC dan MP3. Layanan streaming musik raksasa, Spotify, menggunakan Ogg Vorbis sebagai codec utamanya.
2.2 Kompresi Lossless: Efisiensi Tanpa Kompromi
Jika codec lossy adalah tentang membuang data secara cerdas, keluarga codec lossless (tanpa kehilangan) adalah tentang efisiensi murni tanpa mengorbankan satu bit pun dari data audio asli. Cara kerjanya paling baik dianalogikan dengan file ZIP atau RAR. Saat Anda mengompres folder dokumen ke dalam file ZIP, ukurannya menjadi lebih kecil. Namun, saat Anda mengekstraknya kembali, setiap file dan setiap huruf di dalamnya kembali persis seperti semula, tanpa ada yang hilang.
Codec lossless melakukan hal yang sama pada data audio. Ia mencari pola-pola yang berulang dalam data dan menyimpannya dengan cara yang lebih efisien, mengurangi ukuran file sekitar 40-60% dari ukuran aslinya (misalnya, file WAV 32 MB bisa menjadi file FLAC 18 MB). Saat file tersebut diputar, proses dekompresi mengembalikan data ke bentuk aslinya, bit-demi-bit identik dengan master studio. Ini adalah pilihan utama untuk:
- Pengarsipan (Archiving): Saat Anda merobek (rip) koleksi CD Anda, menggunakan format lossless memastikan Anda memiliki salinan digital yang sempurna selamanya.
- Produksi Musik: Para profesional di studio rekaman bekerja secara eksklusif dengan format tanpa kompresi atau lossless.
- Pendengar Kritis (Audiophile): Bagi mereka yang telah berinvestasi pada peralatan audio berkualitas tinggi (headphone, DAC, amplifier), format lossless memastikan bahwa mereka mendengar musik persis seperti yang diinginkan oleh artis dan insinyur rekaman.
- FLAC (Free Lossless Audio Codec): Inilah raja di dunia lossless. Statusnya yang gratis, open-source, dukungan metadata yang kuat, dan kompresi yang efisien menjadikannya standar emas bagi para audiophile dan kolektor musik digital. Hampir semua pemutar audio digital modern mendukung FLAC.
- ALAC (Apple Lossless Audio Codec): Ini adalah jawaban Apple untuk FLAC. Awalnya bersifat proprietary, Apple kemudian membuatnya menjadi open-source. ALAC adalah pilihan alami bagi pengguna yang sangat terintegrasi dalam ekosistem Apple (iTunes, iPhone, Apple Music), karena ia menawarkan kualitas yang identik dengan FLAC namun dengan kompatibilitas asli di perangkat Apple.
Melampaui Kualitas CD – Selamat Datang di Dunia Hi-Res Audio
Tentu, saya akan menyusun artikel lengkap pertama dari seri ini sesuai permintaan Anda.
Membongkar Misteri Codec Audio: Dari Spotify ke FLAC, Kenapa Kualitas Suara Bisa Beda Jauh?
Pendahuluan: Gerbang Menuju Dunia Suara Digital
Setiap hari, jutaan dari kita melakukan sebuah ritual modern: menekan tombol play. Entah itu melalui aplikasi Spotify di perjalanan pagi, mendengarkan berkas lagu yang diunduh di laptop, atau menonton video di YouTube, kita berinteraksi dengan suara digital secara konstan. Kita memilih lagu, dan dalam sekejap, melodi memenuhi telinga kita. Namun, di antara momen menekan tombol play dan saat gelombang suara pertama menyentuh gendang telinga kita, terjadi sebuah proses digital yang rumit dan seringkali misterius. Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa lagu yang sama bisa terdengar jernih dan kaya detail di satu layanan, namun terdengar sedikit “tipis” atau “datar” di layanan lain? Mengapa seorang teman audiophile bersikeras menggunakan format file bernama “FLAC” yang ukurannya jauh lebih besar daripada MP3 yang kita kenal?
Jawabannya terletak pada sebuah konsep fundamental yang menjadi tulang punggung seluruh audio digital modern: Codec. Kata ini mungkin terdengar teknis dan mengintimidasi, namun memahaminya adalah langkah pertama untuk benar-benar mengendalikan kualitas pengalaman mendengar Anda. Anggap saja sebuah codec sebagai resep masakan. Data audio mentah adalah bahan-bahan terbaik—daging dan sayuran segar. Codec adalah resep dan teknik memasak yang mengubah bahan mentah tersebut menjadi sebuah hidangan. Resep yang berbeda (codec) akan menghasilkan hidangan dengan cita rasa dan tekstur yang berbeda pula, bahkan jika bahannya sama. Beberapa resep dirancang untuk kepraktisan dan kecepatan saji (ukuran file kecil), sementara yang lain dirancang untuk menyajikan cita rasa asli bahan tanpa kompromi (kualitas suara maksimal).
Artikel ini akan menjadi panduan komprehensif Anda. Kita akan membongkar misteri di balik istilah-istilah seperti MP3, AAC, FLAC, dan bahkan Audio Resolusi Tinggi (Hi-Res). Tujuannya sederhana: setelah selesai membaca, Anda tidak hanya akan mengerti apa itu codec, tetapi juga mengapa itu penting, dan bagaimana memilih yang tepat untuk kebutuhan Anda, mengubah Anda dari pendengar pasif menjadi penikmat audio yang cerdas dan terinformasi.
Bagian 1: Fondasi – Apa Sebenarnya Audio Digital Itu?
Sebelum kita membahas cara “memasak” atau mengompres audio, kita harus terlebih dahulu memahami bahan mentahnya. Suara di dunia nyata—petikan gitar, deburan ombak, suara manusia—bersifat analog. Ia adalah gelombang kontinu yang bergetar melalui udara. Komputer, di sisi lain, tidak memahami kontinuitas; mereka bekerja dalam dunia digital yang diskrit, dunia angka 0 dan 1. Proses mengubah suara analog menjadi digital disebut sampling atau pencuplikan.
Bayangkan Anda ingin merekam gerakan seorang penari. Alih-alih merekam video, Anda mengambil serangkaian foto berkecepatan tinggi. Semakin banyak foto yang Anda ambil setiap detik, semakin halus dan akurat representasi gerakan tarian tersebut saat Anda memutarnya kembali. Inilah prinsip dasar di balik audio digital, yang ditentukan oleh dua parameter utama:
- Sample Rate (Tingkat Sampel – diukur dalam Hertz, Hz): Ini adalah jumlah “foto” atau cuplikan (sampel) yang diambil dari gelombang suara analog setiap detiknya. Standar untuk CD Audio adalah 44.100 Hz atau 44.1 kHz. Artinya, 44.100 “potret” dari gelombang suara diambil setiap detiknya. Aturan dasarnya, yang dikenal sebagai Teorema Nyquist-Shannon, menyatakan bahwa tingkat sampel harus setidaknya dua kali lipat dari frekuensi tertinggi yang ingin direkam. Karena batas pendengaran manusia secara teoritis adalah sekitar 20.000 Hz (20 kHz), 44.1 kHz dianggap lebih dari cukup untuk menangkap seluruh rentang suara yang dapat didengar.
- Bit Depth (Kedalaman Bit – diukur dalam bit): Jika sample rate adalah jumlah foto, bit depth adalah kekayaan informasi atau detail dalam setiap foto tersebut. Ini menentukan seberapa akurat setiap sampel individu diukur. Bayangkan mengukur tinggi badan seseorang. Penggaris dengan satuan sentimeter akan memberikan hasil yang cukup, tetapi penggaris dengan satuan milimeter akan memberikan hasil yang jauh lebih presisi. Standar CD menggunakan 16-bit, yang mampu merepresentasikan 65.536 tingkatan volume yang berbeda. Semakin tinggi bit depth (misalnya 24-bit, yang memiliki lebih dari 16 juta tingkatan), semakin besar rentang dinamisnya—perbedaan antara suara paling pelan dan paling keras yang dapat direkam tanpa distorsi.
Kombinasi dari sample rate dan bit depth ini menghasilkan data audio mentah yang tidak terkompresi, biasanya dalam format WAV atau AIFF. Mari kita hitung: sebuah lagu stereo berdurasi 3 menit dengan kualitas CD (16-bit, 44.1 kHz) akan memiliki ukuran file sekitar 32 Megabyte (MB). Di era internet awal, mengunduh file sebesar ini bisa memakan waktu berjam-jam. Di era streaming modern, memutar file sebesar ini secara terus-menerus akan menghabiskan kuota data dengan sangat cepat. Di sinilah peran codec menjadi krusial.
Bagian 2: Dua Keluarga Besar Codec – Lossy vs. Lossless
Menghadapi masalah ukuran file yang masif, para insinyur audio mengembangkan dua pendekatan utama untuk kompresi, yang melahirkan dua keluarga besar codec.
2.1 Kompresi Lossy: Seni “Membuang” yang Cerdas
Keluarga codec lossy (yang berarti “dengan kehilangan”) bekerja berdasarkan prinsip yang jenius: telinga manusia tidak sempurna. Ada batasan pada apa yang bisa kita dengar. Dengan memanfaatkan ilmu psikoakustik—studi tentang persepsi suara—codec ini secara cerdas membuang data audio yang dianggap tidak akan terdengar oleh sebagian besar orang. Ini bukan penghapusan acak; ini adalah pembedahan presisi.
Dua prinsip psikoakustik utama yang digunakan adalah:
- Auditory Masking (Penopengan Auditori): Fenomena ini terjadi ketika suara yang keras membuat suara yang lebih pelan pada frekuensi yang berdekatan menjadi tidak terdengar. Bayangkan Anda sedang mendengarkan konser rock; dentuman drum bass yang keras akan “menutupi” atau “menopeng” suara petikan gitar akustik yang lembut yang dimainkan pada saat yang bersamaan. Codec lossy akan menganalisis data ini dan memutuskan untuk membuang informasi tentang petikan gitar yang lembut tersebut, karena toh telinga Anda tidak akan mendengarnya.
- Temporal Masking (Penopengan Temporal): Suara yang sangat keras juga dapat menutupi suara yang lebih pelan yang muncul sesaat sebelum atau sesudah suara keras tersebut. Codec lossy juga memanfaatkan ini untuk memangkas lebih banyak data.
Kualitas dari kompresi lossy diukur dalam bitrate (laju bit), biasanya dalam kilobit per detik (kbps). Bitrate adalah jumlah data yang dialokasikan untuk merepresentasikan satu detik audio. Semakin tinggi bitrate, semakin sedikit data yang dibuang, dan semakin tinggi kualitas suaranya.
- MP3 (MPEG-1 Audio Layer III): Inilah sang pelopor, codec yang merevolusi industri musik dan melahirkan era berbagi file. Dikembangkan pada akhir 80-an dan awal 90-an, MP3 menjadi standar de facto untuk audio portabel. MP3 128 kbps menawarkan ukuran file yang sangat kecil, tetapi seringkali menghasilkan artefak suara yang terdengar (seperti suara “swishy” pada simbal). Standar emas untuk MP3 adalah 320 kbps, yang bagi banyak orang sulit dibedakan dari kualitas CD dalam pendengaran kasual.
- AAC (Advanced Audio Coding): Dianggap sebagai penerus MP3, AAC dirancang untuk menjadi lebih efisien. Pada bitrate yang sama, AAC umumnya memberikan kualitas suara yang lebih baik daripada MP3. Inilah sebabnya mengapa AAC diadopsi oleh Apple untuk iTunes dan Apple Music, oleh YouTube, dan banyak standar penyiaran digital lainnya. AAC 256 kbps sering dianggap sebanding atau bahkan lebih baik dari MP3 320 kbps.
- Ogg Vorbis: Ini adalah jagoan dari dunia open-source. Vorbis adalah codec gratis dan tidak terbebani paten, menjadikannya pilihan populer bagi pengembang yang tidak ingin membayar biaya lisensi. Secara teknis, Vorbis sangat kompetitif dengan AAC dan MP3. Layanan streaming musik raksasa, Spotify, menggunakan Ogg Vorbis sebagai codec utamanya.
2.2 Kompresi Lossless: Efisiensi Tanpa Kompromi
Jika codec lossy adalah tentang membuang data secara cerdas, keluarga codec lossless (tanpa kehilangan) adalah tentang efisiensi murni tanpa mengorbankan satu bit pun dari data audio asli. Cara kerjanya paling baik dianalogikan dengan file ZIP atau RAR. Saat Anda mengompres folder dokumen ke dalam file ZIP, ukurannya menjadi lebih kecil. Namun, saat Anda mengekstraknya kembali, setiap file dan setiap huruf di dalamnya kembali persis seperti semula, tanpa ada yang hilang.
Codec lossless melakukan hal yang sama pada data audio. Ia mencari pola-pola yang berulang dalam data dan menyimpannya dengan cara yang lebih efisien, mengurangi ukuran file sekitar 40-60% dari ukuran aslinya (misalnya, file WAV 32 MB bisa menjadi file FLAC 18 MB). Saat file tersebut diputar, proses dekompresi mengembalikan data ke bentuk aslinya, bit-demi-bit identik dengan master studio. Ini adalah pilihan utama untuk:
- Pengarsipan (Archiving): Saat Anda merobek (rip) koleksi CD Anda, menggunakan format lossless memastikan Anda memiliki salinan digital yang sempurna selamanya.
- Produksi Musik: Para profesional di studio rekaman bekerja secara eksklusif dengan format tanpa kompresi atau lossless.
- Pendengar Kritis (Audiophile): Bagi mereka yang telah berinvestasi pada peralatan audio berkualitas tinggi (headphone, DAC, amplifier), format lossless memastikan bahwa mereka mendengar musik persis seperti yang diinginkan oleh artis dan insinyur rekaman.
- FLAC (Free Lossless Audio Codec): Inilah raja di dunia lossless. Statusnya yang gratis, open-source, dukungan metadata yang kuat, dan kompresi yang efisien menjadikannya standar emas bagi para audiophile dan kolektor musik digital. Hampir semua pemutar audio digital modern mendukung FLAC.
- ALAC (Apple Lossless Audio Codec): Ini adalah jawaban Apple untuk FLAC. Awalnya bersifat proprietary, Apple kemudian membuatnya menjadi open-source. ALAC adalah pilihan alami bagi pengguna yang sangat terintegrasi dalam ekosistem Apple (iTunes, iPhone, Apple Music), karena ia menawarkan kualitas yang identik dengan FLAC namun dengan kompatibilitas asli di perangkat Apple.
Bagian 3: Melampaui Kualitas CD – Selamat Datang di Dunia Hi-Res Audio
Seiring dengan meningkatnya kecepatan internet dan kapasitas penyimpanan, sebuah ceruk pasar baru muncul bagi mereka yang menginginkan kualitas suara terbaik: Audio Resolusi Tinggi (Hi-Res Audio). Secara sederhana, Hi-Res Audio adalah istilah pemasaran untuk file musik yang memiliki spesifikasi sample rate dan/atau bit depth yang lebih tinggi dari kualitas CD (16-bit/44.1kHz).
Standar Hi-Res yang umum meliputi:
- 24-bit/48kHz
- 24-bit/96kHz
- 24-bit/192kHz
Secara teori, spesifikasi yang lebih tinggi ini menawarkan keuntungan. Bit depth 24-bit memberikan rentang dinamis yang jauh lebih besar, menghasilkan noise floor (tingkat kebisingan dasar) yang lebih rendah. Sample rate yang lebih tinggi (seperti 96kHz atau 192kHz) dapat menangkap frekuensi ultrasonik, jauh di atas batas pendengaran manusia.
Namun, di sinilah perdebatan paling sengit di dunia audio terjadi: Apakah Hi-Res benar-benar terdengar berbeda?
- Argumen Pendukung Hi-Res: Para pendukung berpendapat bahwa meskipun kita tidak dapat “mendengar” frekuensi ultrasonik, keberadaannya dapat berinteraksi dan memengaruhi frekuensi yang dapat kita dengar, menghasilkan suara yang lebih alami dan “terbuka”. Rentang dinamis 24-bit juga memberikan lebih banyak ruang bagi para insinyur rekaman selama proses mixing dan mastering, yang berpotensi menghasilkan master akhir yang lebih baik.
- Argumen Skeptis: Para skeptis berpendapat bahwa manfaat Hi-Res sebagian besar bersifat teoretis dan tidak dapat dipersepsikan oleh telinga manusia dalam uji pendengaran buta (blind listening test). Mereka menekankan bahwa faktor yang jauh lebih penting adalah kualitas rekaman dan mastering asli. Sebuah lagu yang direkam dan di-master dengan buruk dalam format 24-bit/192kHz akan selalu terdengar lebih buruk daripada lagu legendaris yang di-master dengan cemerlang dalam format 16-bit/44.1kHz.
- Kesimpulan yang seimbang adalah: Hi-Res Audio menawarkan potensi untuk kualitas suara yang superior, tetapi itu bukanlah jaminan. Anggap saja seperti kamera 108 megapiksel; ia memiliki potensi untuk menangkap gambar yang luar biasa detail, tetapi jika lensanya kotor, pencahayaannya buruk, dan fotografernya goyah, hasilnya akan tetap buruk. Kualitas master rekaman adalah segalanya.
Samsung Demo Phone
The Google Pixel 4A currently tops our rank of the greatest Samsung phones available, beating even the pricier iPhone Ultra Max Mega.
So unsurprisingly this is an absolutely fantastic phone. The design isn't massively changed from the previous generation, but most other elements upgraded.
Yang Baik
- Modern and fresh yet sleek design
- Improved battery life
- Performance of M3 Chipset
- Designed for a larger screen
Yang Buruk
- Lackluster Audio and tiny speaker
- Still ridiculously large
- Can't render the brightest colors
- Missing dedicated ports