Setiap hari, jutaan dari kita melakukan sebuah ritual modern: menekan tombol play. Entah itu melalui aplikasi Spotify di perjalanan pagi, mendengarkan berkas lagu yang diunduh di laptop, atau menonton video di YouTube, kita berinteraksi dengan suara digital secara konstan. Kita memilih lagu, dan dalam sekejap, melodi memenuhi telinga kita. Namun, di antara momen menekan tombol play dan saat gelombang suara pertama menyentuh gendang telinga kita, terjadi sebuah proses digital yang rumit dan seringkali misterius. Pernahkah anda bertanya-tanya, mengapa lagu yang sama bisa terdengar jernih dan kaya detail di satu layanan, namun terdengar sedikit “tipis” atau “datar” di layanan lain? Mengapa seorang teman audiophile bersikeras menggunakan format file bernama “FLAC” yang ukurannya jauh lebih besar daripada MP3 yang kita kenal?
Jawabannya terletak pada sebuah konsep fundamental yang menjadi tulang punggung seluruh audio digital modern: Codec. Kata ini mungkin terdengar teknis dan mengintimidasi, namun memahaminya adalah langkah pertama untuk benar-benar mengendalikan kualitas pengalaman mendengar anda. Anggap saja sebuah codec sebagai resep masakan. Data audio mentah adalah bahan-bahan terbaik—daging dan sayuran segar. Codec adalah resep dan teknik memasak yang mengubah bahan mentah tersebut menjadi sebuah hidangan. Resep yang berbeda (codec) akan menghasilkan hidangan dengan cita rasa dan tekstur yang berbeda pula, bahkan jika bahannya sama. Beberapa resep dirancang untuk kepraktisan dan kecepatan saji (ukuran file kecil), sementara yang lain dirancang untuk menyajikan cita rasa asli bahan tanpa kompromi (kualitas suara maksimal).
Artikel ini akan menjadi panduan komprehensif untuk anda, membongkar misteri di balik istilah-istilah seperti MP3, AAC, FLAC, dan bahkan Audio Resolusi Tinggi (Hi-Res). Tujuannya sederhana: setelah selesai membaca, anda tidak hanya akan mengerti apa itu codec, tetapi juga mengapa itu penting, dan bagaimana memilih yang tepat untuk kebutuhan anda, mengubah anda dari pendengar pasif menjadi penikmat audio yang cerdas dan terinformasi.
Fondasi – Apa Sebenarnya Audio Digital Itu?
Sebelum kita membahas cara “memasak” atau mengompres audio, kita harus terlebih dahulu memahami bahan mentahnya. Suara di dunia nyata—petikan gitar, deburan ombak, suara manusia—bersifat analog. Ia adalah gelombang kontinu yang bergetar melalui udara. Komputer, di sisi lain, tidak memahami kontinuitas; mereka bekerja dalam dunia digital yang tidak berkelanjutan atau diskrit, dunia angka 0 dan 1. Proses mengubah suara analog menjadi digital disebut sampling atau pencuplikan.
Bayangkan, anda ingin merekam gerakan seorang penari. Alih-alih merekam video, anda mengambil serangkaian foto berkecepatan tinggi. Semakin banyak foto yang anda ambil setiap detik, semakin halus dan akurat representasi gerakan tarian tersebut saat Anda memutarnya kembali. Inilah prinsip dasar di balik audio digital, yang ditentukan oleh dua parameter utama:
- Sample Rate (Tingkat Sampel – diukur dalam Hertz, Hz): Ini adalah jumlah “foto” atau cuplikan (sampel) yang diambil dari gelombang suara analog setiap detiknya. Standar untuk CD Audio adalah 44.100 Hz atau 44.1 kHz. Artinya, 44.100 “potret” dari gelombang suara diambil setiap detiknya. Aturan dasarnya, yang dikenal sebagai Teorema Nyquist-Shannon, menyatakan bahwa tingkat sampel harus setidaknya dua kali lipat dari frekuensi tertinggi yang ingin direkam. Karena batas pendengaran manusia secara teoritis adalah sekitar 20.000 Hz (20 kHz), 44.1 kHz dianggap lebih dari cukup untuk menangkap seluruh rentang suara yang dapat didengar.
- Bit Depth (Kedalaman Bit – diukur dalam bit): Jika sample rate adalah jumlah foto, bit depth adalah kekayaan informasi atau detail dalam setiap foto tersebut. Ini menentukan seberapa akurat setiap sampel individu diukur. Bayangkan mengukur tinggi badan seseorang. Penggaris dengan satuan sentimeter akan memberikan hasil yang cukup, tetapi penggaris dengan satuan milimeter akan memberikan hasil yang jauh lebih presisi. Standar CD menggunakan 16-bit, yang mampu merepresentasikan 65.536 tingkatan volume yang berbeda. Semakin tinggi bit depth (misalnya 24-bit, yang memiliki lebih dari 16 juta tingkatan), semakin besar rentang dinamisnya—perbedaan antara suara paling pelan dan paling keras yang dapat direkam tanpa distorsi.
Kombinasi dari sample rate dan bit depth ini menghasilkan data audio mentah yang tidak terkompresi, biasanya dalam format WAV atau AIFF. Mari kita hitung: sebuah lagu stereo berdurasi 3 menit dengan kualitas CD (16-bit, 44.1 kHz) akan memiliki ukuran file sekitar 32 Megabyte (MB). Di era internet awal, mengunduh file sebesar ini bisa memakan waktu berjam-jam. Di era streaming modern, memutar file sebesar ini secara terus-menerus akan menghabiskan kuota data dengan sangat cepat. Di sinilah peran codec menjadi krusial.
Samsung Demo Phone
The Google Pixel 4A currently tops our rank of the greatest Samsung phones available, beating even the pricier iPhone Ultra Max Mega.
So unsurprisingly this is an absolutely fantastic phone. The design isn't massively changed from the previous generation, but most other elements upgraded.
Yang Baik
- Modern and fresh yet sleek design
- Improved battery life
- Performance of M3 Chipset
- Designed for a larger screen
Yang Buruk
- Lackluster Audio and tiny speaker
- Still ridiculously large
- Can't render the brightest colors
- Missing dedicated ports